Bapak Rektor Universitas Palangka Raya (UPR) yang terhormat, selaku wartawan yang bekerja sesuai Kode Etik Jurnalistik, izinkan saya melaksanakan fungsi sebagai jurnalis yang bekerja berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang pada Pasal 2 menyatakan: Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Serta pada Pasal 3 menyatakan: Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan KONTROL SOSIAL.
Selaku Kepala Pemberitaan Liputan 6 SCTV Kalteng, kami dengan kru beberapa kali memberitakan dugaan Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang diduga dilakukan oleh seorang oknum dosen terhadap mahasiswi UPR.
Ketika dalam proses penyidikan, dan saat sang dosen hendak dijadikan tersangka oleh Subdit Renakta Ditreskrimum Polda Kalteng, tiba-tiba korban (sang mahasiswi) mencabut semua keterangan dan mencabut Laporan Polisi dengan menyatakan tidak mau melanjutkan kasus tersebut. Karena alasan itu akhirnya Polisi terpaksa mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) atas kasus tersebut.
Melalui surat terbuka ini, saya tegaskan, dihentikannya kasus ini bukan karena terduga dinyatakan tidak bersalah, tetapi karena korban mencabut semua keterangan dan laporannya. Artinya, laporan korban mengandung kebenaran, karena diperkuat dengan hasil visum adanya dugaan tindak Kekerasan Seksual serta pemeriksaan saksi ahli, dan untuk pembuktiannya menunggu sidang di Pengadilan.
Bapak Rektor yang terhormat, wartawan juga mendapat informasi dari Polisi, terkait kasus dugaan kekerasan seksual tersebut, isteri sang dosen sempat melapor ke Polisi atas dugaan perzinahan, dengan terlapor sang dosen dan mahasiswi tersebut.
Berdasarkan laporan itu, Polisi menyita barang bukti berupa video porno, atau video hubungan badan antara sang dosen dengan mahasiswi.
Entah mengapa, tiba-tiba isteri sang dosen mencabut laporan perzinahan tersebut, dan Polisi juga mengeluarkan SP3 atas kasus tersebut, artinya sang dosen dan sang mahasiswi bebas dari jerat hukum, walaupun bukti video menegaskan adanya hubungan badan antara mereka berdua.
Melalui alur cerita yang saya yakini 100 persen kebenarannya, dengan narasumber yang jelas, izinkan saya menyampaikan sikap dan pemahaman saya dengan mengacu pada Buku Pedoman Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (PPKS).
1. Sekarang ini kita tidak lagi menghadapi penjajahan oleh bangsa asing, tetapi ada bentuk penjajahan lain yang masih terjadi di sekitar lingkungan kita, yakni kekerasan seksual. Kekerasan seksual di lingkungan pendidikan merenggut kemerdekaan korban (Mahasiswi) untuk mengembangkan potensi dirinya dengan sehat, aman, nyaman, dan optimal. Kekerasan seksual dengan berbagai bentuknya, menimbulkan kerugian yang besar bagi korban.
2. Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.
3. Setiap peristiwa Kekerasan Seksual, baik ringan apalagi berat, dapat berakibat hilangnya kesempatan Korban untuk memperoleh pendidikan dengan aman dan optimal. Oleh karena itu, dalam Penanganan setiap laporan Kekerasan Seksual, Perguruan Tinggi harus memberikan sanksi yang adil dan tegas, serta proporsional kepada setiap pelaku kekerasan seksual dengan tegas tanpa memandang status dan kedudukan pelaku.
Bapak Rektor yang saya hormati, menyikapi adanya video porno/hubungan badan antara sang dosen dan mahasiswi yang sempat jadi barang bukti Polisi, apakah tidak menggerakkan hati Bapak untuk mengambil tindakan tegas dan berani. Karena sang dosen sudah melanggar norma-norma kepatutan serta etika moral, dan ketika keberadaannya dipertahankan, apakah tidak menimbulkan ketakutan di kalangan Mahasiswi UPR lainnya?
Kiranya Surat Terbuka ini menggerakkan hati Bapak Rektor UPR untuk berani meletakkan kebenaran pada tempat sebenarnya, dan jangan memberi ruang untuk pelaku kekerasan seksual terhadap mahasiswi, demi aman dan nyamannya mahasiswi menuntut ilmu di Bumi Tambun Bungai yang kita cintai ini.
Apabila UPR belum memiliki keberanian untuk bertindak tegas demi menjaga nama baik dosen UPR secara keseluruhan, bahkan UPR sebagai Lembaga Pendidikan terbesar di Kalteng, saya akan kembali membuat Surat Terbuka untuk Bapak Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia.
Salam Hormat Saya untuk Bapak Rektor
Sadagori Henoch Binti (Ririen Binti)
Jurnalis Televisi, di Palangka Raya