PALANGKA RAYA, katakata.co.id – Pernyataan mantan Kepala Bidang Humas Polda Kalteng Kombes Pol Kismato Eko Saputro kepada wartawan beberapa bulan yang lalu, yang menegaskan bahwa kasus dugaan penganiayaan dan kekerasan seksual yang dilakukan seorang oknum Dosen Universitas Palangka Raya (UPR) terhadap seorang mahasiswi, tetap ditindaklanjuti sesuai aturan hukum yang berlaku, ternyata tidak terbukti.
Pasalnya berdasarkan sumber di Polda Kalteng, kasus yang sempat menjadi perhatian masyarakat luas ini, perkaranya sudah dihentikan Penyidik Ditreskrimum Polda Kalteng, dengan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
Menyikapi hal tersebut, Jumat (5/5/2023), Suriansyah Halim yang juga seorang praktisi hukum yang terkenal kritis, kepada awak media, mengatakan, apabila penyidik mengeluarkan SP3 harus berdasarkan aturan hukum, seperti tidak adanya suatu dugaan tindak pidana dalam kasus tersebut.
Namun apabila SP3 dikeluarkan dikarenakan alasan tidak kooperatifnya pelapor, atau pelapor mencabut laporannya, hal tersebut kurang tepat dan tidak bisa dijadikan dasar untuk mengeluarkan SP3.
“Terkait SP3 itu adalah hak Penyidik, tetapi dengan alasan sesuai aturan, karena kasus ini bukan delik aduan. Maka alasan tidak kooperatifnya pelapor, tidak bisa menjadi dasar keluarnya SP3,“ ujarnya.
Dia menambahkan, kasus tersebut adalah delik umum, apalagi korban atau pelapor sempat datang untuk melapor, lalu diperiksa, dan penyidik sudah memeriksa ahli terkait masalah itu, sehingga penyidik meyakini adanya dugaan tindak pidana. Apalagi sudah keluar Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP), maka seharusnya kasus tersebut tetap ditindaklanjuti sesuai aturan hukum.
“Dalam delik umum, alasan tidak kooperatifnya pelapor tidak bisa dijadikan alasan keluarnya SP3. Sebab dalam delik umum, walaupun tanpa adanya laporan, Polisi wajib menindaklanjuti suatu dugaan tindak pidana. Apalagi dalam kasus ini pelapor sudah sempat datang melapor, diperiksa, dan penyidik meyakini adanya dugaan tindak pidana. Bahkan sudah terbit SPDP, sehingga Penyidik harus tetap maju menangani kasus ini,“ tegasnya.
Di samping itu, Suriansyah juga khawatir, keluarnya SP3 bisa menimbulkan ketakutan mahasiswi di UPR, karena terkesan Dosen di UPR kebal hukum. Karena laporan terhadap kasus dugaan kekerasan seksual yang ada, dihentikan penanganannya.
Dia juga menegaskan, apabila pelapor diduga mempermainkan hukum, dengan membuat laporan, tetapi saat Polisi sudah bekerja keras dan mendapatkan unsur adanya dugaan tindak pidana atas laporannya, namun tiba-tiba pelapor mencabut semua keterangannya, sehingga terkesan laporannya tidak benar, maka pelapor berpotensi bisa dijerat membuat laporan palsu.
Kendati demikian, jika pelapor tidak kooperatif, seperti tidak mau menandatangi Berita Acara Pemeriksaan, langkah hukum yang ditempuh penyidik ada dua, yakni kalau itu laporan palsu, berarti pelapor diduga mempermainkan hukum sehingga bisa dijerat tindak pidana, dan penyidik mencari sebab mengapa tiba-tiba pelapor mencabut laporannya.
“SP3kan bisa dibatalkan dan kasusnya bisa dibuka kembali, penyidik perlu melakukan pendekatan terhadap pelapor melalui psikolog untuk mengetahui alasan pelapor berubah sikap, yang awalnya menggebu-gebu membuat laporan sebagai korban, tetapi tiba-tiba berubah untuk berdamai,“ pungkas Suriansyah.
Sebelumnya ramai diberitakan berbagai media, seorang mahasiswi melaporkan seorang oknum Dosen UPR ke Polda Kalteng, karena oknum Dosen diduga melakukan penganiayaan dan tindak kekerasan seksual terhadap dirinya. Terhadap terduga pelaku, UPR sudah menonaktifkan oknum Dosen dari kewajiban melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni mengajar, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. (rb66/red)