Oleh Ririen Binti
Pemimpin Redaksi
Setelah melakukan klarifikasi terhadap pelapor dan sejumlah terlapor, Badan Pengawas Pemilu, (Bawaslu) Kalimantan Tengah, menghentikan laporan dugaan pelanggaran pilkada yang diduga dilakukan oleh sejumlah pejabat di Provinsi Kalteng.
Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran Data dan Informasi Bawaslu Kalteng Nurhalina, mengatakan, penghentian ditetapkan setelah pihaknya melakukan rapat pleno di Bawaslu dan keputusan untuk menghentikan laporan ini diambil dengan alasan kurang validnya bukti-bukti yang disampaikan oleh pelapor.
Catatan menarik yang perlu penulis beberkan lebih rinci adalah, mengapa pihak pelapor dalam laporannya menekankan adanya dugaan ketidaknetralan yang diduga dilakukan oleh para terlapor dalam penggunaan keuangan negara yang sebagian berasal dari pajak yang saya dan pembaca, serta masyarakat bayar.
Mari kita berpikir dengan pikiran yang sehat dan masuk akal, mengutip isi laporan pelapor ke Bawaslu Kalteng, terkait bantuan sosial (berupa uang non tunai, barang, dan berupa pangan-sembako) pada 2024 mencapai Rp219 miliar. Sementara untuk 2022, Bansos yang dibagikan hanya senilai Rp5 miliar, dan pada 2023 Bansos yang dibagikan Rp8 miliar lebih.
Melihat peningkatan Bansos yang begitu fantastis dan luar biasa, apakah kondisi Kalimantan Tengah mencerminkan keadaan darurat dan bencana sosial yang begitu parah???
Naik fantastisnya dana Pemerintah yang dikeluarkan untuk Bansos dari dua tahun sebelumnya, diduga untuk menguntungkan pihak tertentu. Apalagi saat membagi Bansos tersebut, melibatkan pihak tertentu yang ternyata ikut berkompetisi dalam pilkada Kabupaten dan Provinsi Kalimantan Tengah.
Kemunculan Bansos yang menghabiskan dana Rp219 miliar (cacatan pelapor), dinilai berpotensi membuat tata kelola kas daerah menjadi tak sehat karena dikhawatirkan mengorbankan anggaran yang lebih penting.
Meski tudingan pemanfaatan program Bansos untuk tujuan politik dibantah Gubernur Kalteng dan Plt Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kalteng, dengan mengatakan Bansos untuk mengendalikan inflasi dan merupakan program reguler tahunan. Namun sulit untuk dibantah, dugaan penyimpangan masih banyak terjadi di lapangan. Selain buruk bagi pendidikan politik, praktik ini menciderai tujuan dari program Bansos.
Persoalannya, mengapa kemunculan Bansos yang menghabiskan dana Rp219 miliar di 2024 (menurut cacatan pelapor), berkesesuaian dengan musim Pilkada, yang secara fakta salah satu peserta Pilkada di Kalteng adalah saudara dari salah satu petinggi di Provinsi Kalteng.
Satu hal lagi yang masih menjadi pertanyaan bagi penulis, saat pasar murah digelar dengan harga sembako yang sudah disubsidi pemerintah, contoh Ketika pasar murah digelar di Murung Raya (10/10/2024) dibagikan 1.500 paket sembako yang berisikan beras 10 kg, gula 1 kg, dan minyak goreng, dengan harga Rp198.500, namun disubsidi Pemprov sebesar Rp178.500 sehingga masyarakat hanya perlu membayar Rp20 ribu. Namun karena kembali disubsidi RP20 ribu oleh Gubernur secara pribadi, maka sembako dibagikan secara gratis.
Sekarang pertanyannya, apakah dana yang disubsidi oleh Gubernur Kalteng secara pribadi, untuk menutupi sisa pembayaran sembako tersebut, benar-benar dibayar dan dananya masuk menjadi penerimaan daerah. Kalau masuk menjadi penerimaan daerah, instansi mana yang mengelola dan bagaimana pencatatannya sehingga dana tersebut bisa digunakan untuk kepentingan masyarakat lainnya.
Dengan dihentikannya kasus dugaan pelanggaraan Pilkada oleh Bawaslu Kalteng, Rahmadi G Lentam akan mempelajari putusan yang dikeluarkan, untuk nantinya apakah akan melanjutkan laporan ke Bawaslu RI maupun ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). ***