PALANGKA RAYA,katakata.co.id- Luar Biasa!Dengan mempresentasikan hasil riset penelitian tentang “Protecting the Innocent: An In-Depth Study of Dayak Customary and Islamic Legal Sanctions for Sexual Offenses” (Sanksi Bagi Pelaku Merusak Wanita Di Bawah Umur: Analisis Yuridis Dalam Perspektif Hukum Adat Dayak Dan Hukum Islam).
Perwakilan dosen dari Fakultas Hukum (FH) Universitas Palangka Raya yaitu Yessiarie Silvanny Sibot, S.H., M.H., dan Nuraliah Ali, S.Pd.I., M.Pd.I., mengikuti Konferensi Internasional yang bertajuk Change and Resistance : The Future of Kalimantan Studies. Acara yang dibuka langsung Direktur Asosiasi Peneliti Studi Kalimantan (APSK), Noorhidayah, S.H., M.A., C.EML melalui sebuah acara International Conference on Kalimantan Studies (ICKS) 2024, di Hotel Grand Hotel International Asia Pasifik pada tanggal 12-13 Agustus 2024.
Tak hanya itu saja, acara ini juga menampilkan Opening Message dari Associate Prof. Dr. Thirunaukarasu A/L Subramaniam dari Department of Southeast Asian Studies, University of Malaya, Malaysia. Acara dilanjutkan dengan Introduction of Guest Honor yang disampaikan oleh Prof. Dr. Arndt Graff dari Goethe University, Frankfurt, Germany, dan Dr. Syed Abdul Razak Bin Sayed Mahadi dari University of Malaya, Malaysia.
Keuda Dosen UPR ini menyoroti dua aspek utama yaitu prosedur penyelesaian berdasarkan hukum adat Dayak khususnya Dayak Ngaju dan hukum Islam dalam kasus merusak anak di bawah umur, serta perlindungan hukum bagi korban dalam konteks kedua hukum tersebut.
Dalam kesimpulannya, Yessiarie Silvanny Sibot, S.H., M.H., mengatakan, untuk hukum adat Dayak Ngaju, prosedur penyelesaian kasus merusak anak di bawah umur didasarkan pada tradisi lokal. Proses ini melibatkan langkah-langkah seperti pelaporan, pemanggilan pihak terkait, sidang oleh Mantir Adat, serta pengambilan sumpah adat.
“Perlindungan hukum dalam masyarakat adat Dayak Ngaju juga tercantum dalam Perjanjian Tumbang Anoi, yang menegaskan komitmen untuk melindungi korban serta menegakkan keadilan. Sanksi hukuman yang berlaku termasuk denda adat (singer) yang diatur dalam Pasal 9 dan Pasal 79 Perjanjian Tumbang Anoi, memastikan bahwa pelaku yang merusak anak di bawah umur mendapat sanksi sesuai dengan tingkat pelanggarannya,” Kata Yessiarie.
Sementara itu, Nuraliah Ali, S.Pd.I., M.Pd.I., menerangkan dalam hukum Islam, prosedur penyelesaian kasus merusak anak di bawah umur terhadap pelaku pemerkosaan atau zina mengacu pada hukum had dari Al-Qur’an dan Hadis, dengan syarat-syarat ketat dan bukti yang kuat.
“Penegakan hukum Islam memberikan berbagai pandangan, dari hukuman mati hingga hukuman ta’zir, seperti hukuman cambuk, denda, penjara, atau pengasingan, tergantung pada konteks dan bukti yang tersedia,” ucapnya.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan panduan bagi pemerintah atau komunitas terkait dalam mengimplementasikan hukum adat Dayak Ngaju dan hukum Islam dalam kasus yang melibatkan anak di bawah umur. Bahkan menawarkan kebijakan atau rekomendasi praktis untuk meningkatkan perlindungan hukum bagi korban dalam kedua sistem hukum tersebut serta meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat mengenai pentingnya perlindungan anak serta penerapan hukum yang adil dan manusiawi dalam kedua konteks hukum.
Selain itu, diseminasi hasil riset penelitian ini juga dapat memberikan kontribusi signifikan dalam pengembangan hukum yang lebih adaptif dan sensitif terhadap kebutuhan perlindungan anak di bawah umur, terutama dalam komunitas yang menganut hukum adat dan hukum Islam. (ard/red)